TAHAP-TAHAP LAYANAN KONSELING PASTORAL

November 21, 2010

Untuk dapat memberikan layanan Konseling Pastoral (KP) maka konselor harus mengetahui tahap-tahapnya, kekhasan dalam setiap tahap tersebut.
Menurut Tulus Tu’u (2007:72-81) ada beberapa tahap untuk dapat memberikan layanan Konseling Pastoral yakni:

Tahap Awal, pada tahap ini konselor mendengarkan pergumulan pikiran atau perasaan konseli (yang mengalami sakit). Apabila relasi konselor cukup baik dengan konseli, pendampingan dapat diawali dengan berdoa memohon rahmat/berkat Tuhan agar proses KP yang akan dilangsungkan (kemungkinan bisa terjadi dalam beberapa pertemuan) dapat berlangsung dengan baik.

Tahap Inti, pada tahap ini konselor berupaya menggali, mencari, menemukan pokok-pokok akar masalah (dari pikiran/perasaan konseli) serta akibat-akibat yang dihadapikonseli. Dalam tahap ini konselor perlu mengembangkan percakapan dengan menggunakan model-model: Respons Understanding (U), Respons Suportif (S), Respon Interpretatif (I), Respons Evaluatif (E):
a. Respons Understanding (U), berisi pemahaman dan pengertian, maksudnya konselor mengungkapkan dengan kalimatnya sendiri tentang pikiran/perasaan konseli. Respons Understanding ini sering ada dimana-mana dalam konseling, sehingga dapat dikombinasi dengan Rerspons SIE (Suportif, Interpretatif, Evaluatif).
b. Respons Suportif (S) isinya refleksi teologis, untuk mendukung, menentramkan, meneguhkan, menghibur konseli. Respons ini sangat berguna untuk merespons konseli yang mengungkapkan kebimbangan, keragu-raguan, ketakutan, kekhawatiran, gelisah, resah, sedih, duka, putus asa, “merasa kecil”/”minder”, dan tidak berdaya, bingung, kecewa, benci, dendam. Dalam percakapan pada tahap ini perasaan konseli perlu ditanggapi konselor dengan memberikan inspirasi teologis. Oleh karena itu konselor perlu memiliki pemahaman yang berkaitan dengan ayat-ayat Kitab Suci tertentu supaya dapat mendorong konseli keluar/membebaskan diri dari rasa itu.
c. Respons Interpretatif (I), isinya refleksi psikologis bertujuan untuk menafsir, menuntun, membimbing dan menerangkan. Intinya mengajak konseli merenungkan pikiran/perasaan yang menjadi problemnya dalam konteks pemikiran psikolog tertentu. Respons Interpretatif (I) ini akan mengarah ke Respons Evaluatif (E) dan Respons Action (A)
d. Respons Evaluatif (E) isinya unsur psikologis dan teologis. Respons ini berusaha mengevaluasi, menanggapi hal-hal yang baik dari konseli, memberikan ide-ide, alternative-alternatif jalan keluar, atau solusi.

Tahap Penutup, pada tahap ini konselor berusaha untuk mengakhiri proses KP dengan Respons Action (A). Maksudnya, konselor membantu konseli untuk membuat tindakan konret. Supaya proses ini dapat berjalan baik, pentingnya memiliki kebiasaan berdoa perlu digaris bawahi.

Menurut Alastair V.Campbell (1987:198-199) KP dapat berlangsung dengan menggunakan tahap-tahap tersebut apabila konselor menjalankan fungsi-fungsi berikut:
1. Fungsi penyembuhan, menolong konseli supaya dapat mengatasi persoalan psikologis dan spiritual cukup berat.
2. Fungsi peneguhan, memberikan dukungan pada konseli yang menghadapi permasalahan dan kemungkinan menjadi kehilangan pengharapan juga.
3. Fungsi bimbingan, memberikan bimbingan moral dan pengarahan spiritual supaya tetap memiliki tujuan hidup.
4. Fungsi rekonsiliasi, memberikan bimbingan sehingga konseli dapat menyelesaikan masalah intrapersonal maupun interpersonal dalam hubungannya dengan sesama maupun anggota keluarga.

Kepustakaan

Alastair V.Campbell (Ed), 1987. A Dictionary of Pastoral Care, New York: Crossroad.

Tulus Tu,u. 2007. Dasar-dasar Konseling Pastoral: Panduan bagi Pelayanan Konseling Gereja, Yogyakarta: Andi.

TUGAS
Silahkan melaporkan hasil pendampingan/layanan KP dengan menggunakan tahap-tahap tersebut.

28 Responses to “TAHAP-TAHAP LAYANAN KONSELING PASTORAL”

  1. Ani dan Ira said

    Kami berdua (Cornelia Irawati Mawartiningrum dan Anastasia Florentin Mareski) mendampingi seorang pasien berusia 76 tahun yang bernama Mbah Retha (Bukan nama sebenarnya). Deskripsi klien: Ia menderita sakit lumpuh sejak tahun 2004.
    Dari tiga kali kunjungan, konseli sebenarnya sudah menunjukkan bahwa dirinya menerima keadaan yang dialaminya sekarang. Akan tetapi, konseli masih sering mengeluh jika rasa sakit mulai menyerangnya. Ia sering merasa nyeri, panas, untuk tidur ataupun duduk terasa sakit. Ia merasa jenuh dengan keadaan yang ia alami sekarang. Ia sering mengeluh dengan keadaanya. Singkatnya, ia merasa tidak nyaman dan benar-benar bosan dengan penyakit yang dideritanya ini. Di sisi lain. ia pun ingin segera sembuh dari penyakitnya itu . Jika bisa ditawar ia lebih suka bekerja yang berat daripada harus menderita penyakit seperti yang ia derita sekarang ini. Ia tidak menolak atau mengingkari keadaannya, namun ada kalanya dia merasa tidak tahan.
    Dari hasil pembicaraan, kami menemukan data bahwa konseli sudah sadar akan kondisi dirinya dan tidak menganggap penyakitnya sebagai masalah. Karena konseli sudah mampu menerima keadaannya, maka kami ingin belajar dari konseli mengenai penerimaan diri melalui teori Maslow. Alasan kami memilih teori ini adalah karena kami ingin melihat lebih jauh bagaimana konseli menerima dirinya, apakah konseli sudah sungguh-sungguh mampu menerima keadaan dirinya sehingga mampu mengaktualisasikan dirinya atau belum. Dengan menggunakan teori Maslow juga kami ingin mengetahui apakahkonseli sudah sungguh-sungguh terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dan dari hasil pembicaraan, kami menduga bahwa kebutuhan fisiologis konseli masih perlu diolah lagi (?).
    Dalam pertemuan ketiga, kami berbicara dengan konseli dengan percakapan sebagai berikut :
    Ko : Bagaimana mbah kabarnya?
    Ki : Ya seperti ini Nak….
    Ko : Gimana mbah masih sering nyeri gak?
    Ki : Ya terkadang masih terasa, tapi ya mau gimana lagi…
    Ko : Ya diterima saja mbah, mungkin ini cara Tuhan agar mbah lebih bisa bersabar dan
    bisa lebih pasrah.
    Ki : iya saya sudah menerima dan pasrah kok, tapi kalau saya kesakitan saya terkadang
    tidak tahan merasakannya. Sehingga saya hanya bisa menangis menahan rasa sakit
    dan nyeri.
    Ko : Jadi mbah sering menangis jika merasa sakit dan nyeri?
    Ki : Iya.. lha gimana lagi hanya itu yang bisa saya perbuat.Obat juga sepertinya kurang
    membantu mengobati penyakit saya. Karena dengan menangis saya merasa sedikit
    lega.
    Ko : Oh begitu…
    Ki : Saya juga setiap hari selalu membaca kitab suci dan berdoa kepada Tuhan. Agar diberi kesabaran, ya syukur-syukur kalau rasa sakit saya juga dihilangkan dan saya bisa sembuh.
    Ko : Wah Simbah hebat ya… dengan kondisi fisik dan kesehatan yang seperti ini tetap mampu berharap pada Tuhan. Mbah juga bisa pasrah dan menerima dengan iklas hati apapun keadaan Mbah. Kalau saya jadi Mbah, mungkin saya sulit untuk bersikap seperti Mbah sekarang ini. Saya benar-benar kagum terhadap sikap Mbah.
    Ki : Lha yo kepiye meneh nduk… Dadi uwong ki yo kudu iso nrima. (Ya mau gimana lagi nak… jadi orang tuh ya harus bisa menerima). Mungkin dengan begini saya bisa ikut merasakan penderitaan Yesus ketika memanggul salib-Nya.
    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data bahwa konseli mampu menerima dirinya dan mau menyerahkan diri secara total kepada Tuhan (?).
    Landasan Teologis:
    Dalam kondisi seperti ini, konseli masih bisa setia dan menerima Tuhan. Dengan demikian judul dari layanan konseling pastoral kami terhadap konseli adalah “Tuhanlah sumber Kekuatanku”.

  2. kothanmerlin@yahoo.co.id said

    Kami berdua(Sr.Via & Sr.Tarsi) mendampingi seorang perempuan berusia 84 tahun bernama ibu Inem (bukan nama sebenarnya). Ia menderita sakit lumpuh sebelah kanan selama 14 tahun. Gejalanya dimulai ketika ia menderita penyakit darah tinggi. Pada awalnya ia merasa bingung dan pikirannya kacau. Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.
    Dari 3x kunjungan terhadap klien, klien mengatakan ia telah menerima penyakit yg telah dideritanya selama 14 tahun tersebut. Berdasarkan penerimaan klien terhadap penyakitnya itu, maka kami menggunakan teori Maslow untuk dapat mengetahui pikiran dan perasaan klien yang menunjukkan jika ia mencapai tahap aktualisasi diri.Sifat-sifat pengaktualisasian diri yang ditunjukkan adalah:
    1. Mengamati realitas secara efisien. Klien memandang penyakitnya sebagai bagian dari hidupnya. Karena ia percaya bahwa hidup manusia itu ada suka dan dukanya. Nampak dalam percakapan:
    Ko…..
    Ki …..

    2. Penerimaan umum atas kodrat, orang-orang lain dan diri sendiri. Klien menerima diri apa adanya. Ia tidak mengeluh dan menyalahkan keluarga maupun Tuhan. Saat kami berbindang tentang:
    ……..
    3. Spontanitas, kesederhanaan, kewajaran. Ia mengungkapkan emosi-emosi secara jujur. Contoh: saat anaknya terlambat memandikannya, ia akan segera memanggil dan minta dimandikan dengan berkata ……………….

    4. Kebutuhan akan privasi dan independensi. Buktinya: Setiap malam dari pukul 21.00 sampai 01.00 klien minta pada keluarga untuk tidak diganggu karena ia membutuhkan keheningan untuk berdoa.
    5. Berfungsi secara otonom. Apapun yg masih bisa dilakukannya ia akan melakukannya sendiri. Ia tidak ingin merepotkan keluarganya. Contohnya: klien masih bisa makan dan minum sendiri.
    6. Pengalaman mistik. Klien mengalami kebahagiaan karena setiap hari ia khusuk berdoa dari pukul 21.00 sampai 01.00. Melalui doa ia memperoleh kekuatan, penghiburan dan kebahagiaan. ………………
    7. Minat sosial. Klien sangat mencintai anak-anak, cucu dan cicitnya. Ia sangat bermurah hati dan terbuka menerima siapa saja yang datang padanya. Ia juga selalu mendoakan mereka. ……..
    8. Perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk. Klien tidak mementingkan harta ataupun kesuksesan dari anak-anaknya. Ia hanya ingin mereka bahagia dan memiliki semangat kekeluargaan……………………..

    Dari pertemuan ketiga, kami berbicara dengan klien melalui percakapan sebagai berikut:
    KO: Bagaimana kabar ibu hari ini?
    KI: Baik , suster (sambil tersenyum)
    KO: Bagaimana perasaan ibu?
    KI: Iya, sepertia biasa suster, saya selalu merasa bahagia dan bersyukur masih menikmati hidup serta dikelilingi oleh anak-cucu yang selalu menyayangi saya.
    KO: Bagaimana pengalaman ibu dengan penyakit yg sudah diderita begitu lama?
    KI: Saya sih sudah menerima kondisi saya seperti ini. Dulu pernah ada yg mengatakan kalau penyakit saya ini karena diguna-gunai orang.
    KO: Lalu bagaimana tanggapa ibu?
    KI: Ah,,,saya nggak percaya, suster. Kalaupun benar, saya juga bilang ke anak-anak supaya mengampuni saja orang-orang itu.
    KO: Wah, tanggapan ibu bagus sekali. Rupanya ibu sangat percaya pada Tuhan.
    KI: Iya, suster. Untuk apa saya berdoa kalau saya percaya pada hal-hal seperti itu. Saya hanya percaya pada Tuhan & saya merasa kuat melalui doa-doa. Saya juga selalu membaca Kitab Suci dan Novena. Buku doa saya banyak lho, suster.
    KO: wah kami kagum sekali dengan ibu.
    KI: Suster, saya juga selalu bilang ke anak dan cucu saya bahwa rencana Tuhan itu selalu indah dibalik situasi yg kita hadapi.

    Dari hasil konseling, kami menyimpulkan bahwa klien sudah menerima penyakitnya bahwa rencana Tuhan itu selalu indah dibalik situasi yg ia hadapi. Dengan demikian, judul dari layanan KP kami terhadap klien adalah “Dibalik Penderitaan, Tuhan selalu menjadi Kekuatanku”.

  3. Asthi & Sr. Bibiana said

    Kami berdua Sr. Bibiana dan Asthi Pawitra mendampingi pasien wanita , usia 68 tahun yang bernama Sr. CS (bukan nama sebenarnya). Ia menderita kanker paru-paru stadium akhir sejak 7 tahun yang lalu bahkan saat ini sel kankernya sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dari 3 kunjungan yang sudah dilewati klien menunjukan gejala perilaku, pikiran dan perasaan. Hal itu tampak dalam perilakunya pada tahap awal ketika dia baru di vonis menderita kanker paru-paru. Dia sempat protes pada Tuhan, mengapa ia diberi sakit seperti ini pada saat hidupnya masih produktif. Dan ketika dia sudah bisa pasrah dia kembali protes kepada Tuhan mengapa dia belum juga dipanggil-panggil.
    Karena itu kami hendak membantu konseli merubah pikiran dan perasaan konseli dengan menggunakan teori dari Goleman dengan alasan pada dasarnya konseli sudah memiliki kesadaran diri, Ia mampu memahami proses dalam dirinya, proses sakitnya (karena ia bekerja sebagai seorang perawat) proses pergulatan batinnya dan proses kepasrahannya. Konseli menyadari bahwa ia kadang merasa takut akan kematiannya, tetapi jika sudah kesakitan ia merasa kematian adalah jalan terbaik bagi dirinya. Kesakitan yang hebat dan penantiannya yang begitu lama membuatnya menjadi putus asa. Kepasrahannya ini menjadi tidak total karena pada dasarnya ia ingin lari dari kesakitan yang melandanya dengan jalan kematian. Dalam pertemuan berikutnya kami memancing ki dengan percakapan sebagai berikut:

    Ko: Selamat malam suster! Bagaimana kabarnya?
    Ki: Ya begitulah ter.
    Ko: Apa suster masih sering kesakitan?
    Ki: Iya, biasanya kalau malam sakitnya seperti ditusuk paku pada bagian ini (menunjuk bagian yang sakit)
    Ko: biasanya kalau sakit seperti itu suster ngapain?
    Ki: ya begitulah, saya biasanya hanya bisa menangis kesakitan sambil memegang rosario yang ada di tangan saya. Saya pasrah sajalah sama Tuhan. Saya ingin sekali Tuhan cepat mengambil saya, karena saya sudah tidak kuat menahan sakit ini. Tapi sampai sekarang sudah tujuh tahun saya tetap sakit seperti ini, bahkan tambah parah.
    Ko: Pasrah??
    Ki: iya, saya pasrah dengan keadaan saya sekarang. Habis mau bagaimana lagi, saya juga pernah protes sama Tuhan kenapa saya diberi sakit seperti ini pada saat saya masih produktif. Saya juga pernah berpikir kenapa saya yang seorang perawat yang lebih tau tentang kesehatan justru mengalaminya sendiri.
    Ko: oh iya, saya mengerti bagaimana pergulatan suster dengan penyakit ini, tapi Tuhan kan pasti punya rencana untuk suster.
    Ki: iya si, tapi mengapa sampai saat ini saya belum dipanggil-panggil oleh Tuhan, padahal saya sudah begitu menderita dan kesakitan. Dan saya ingin semua ini cepat berakhir, tetapi kenapa Tuhan tidak menjawab doa dan kepasrahan saya.

    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data jika konseli sebenarnya sudah pasrah menghadapi kematiannya tetapi jika dilihat lebih dalam lagi ada kemungkinan kepasrahannya itu bersumber dari keinginannya yang begitu kuat untuk bebas dari rasa sakit yang menggerogotinya. Dapat disimpulkan jika konseli ingin berubah dalam pikiran/perasaannya, singkatnya ia ingin percaya bahwa Tuhan pasti mempunyai rencana pada dirinya. Dengan demikian judul dari layanan Konseling pastoral kami terhadap Konseli adalah “SEGALA SESUATU PASTI INDAH PADA WAKTUNYA”

  4. Indah-Dina said

    Kami berdua, Indah dan Dina mendampingi pasien seorang laki-laki berusia 73 tahun bernama Padhe Yo’ ( bukan nama sebenarnya). Sakit setengah lumpuh sejak 2 bulan lalu dan tidak dapat beranjak dari tempat tidur. Dari 5 kali kunjungan, konseli menunjukan gejala perasaan sakit hati terhadap anak-anaknya yang mempengaruhi pikirannya. Hal ini nampak dalam perilaku sering melamun karena memikirkan anak-anaknya itu.
    Dari hasil pembicaraan, akar masalah memiliki gejala sering melamun dan kondisi tubuh semakin melemah (?). Oleh karena itu kami hendak membantu konseli untuk mengubah pikiran dan perasan konseli dengan menggunakan teori Goleman dengan alasan agar konseli menyadari akan makna hidup di saat usianya sudah menginjak 74 tahun (?). Konseli sudah tidak mengunakan gigi palsu sehingga kami mengalami sedikit kesulitan untuk memahami apa yang dikatakannya. Sebelumnya mengalami setengah lumpuh karena terpeleset,konseli seringkali melamun (?).

    Dalam pertemuan berikutnya, kami memancing konseli dengan percakapan sebagai berikut.
    Ko : “ Padhe baru mikir apa to?”
    Ki : “ Ngga mikir apa-apa.” ( pandangan menerawang)
    – diam-
    Ki : “ Masmu gimana kabarnya.”
    Ko : “ Baik, padhe. Masih di rumah. Kenapa, padhe? Kangen po? ”
    Ki : ( Mengangukkan kepala) “ Kog ra tau niliki aku… “
    Ko : “ Besok saya suruh ke sini ya, Padhe…”
    – Indah memeluknya dan menyanyikan lirih “ Yesus sayang padaku”-
    Ki : ( meneteskan air mata)
    Ko : “ Kenapa padhe”
    – diam-
    Ki : “ Duit arep sithik po akeh ki tetep wae kurang… “
    Ko : “ Maksud padhe?”
    Ki : “ Mas A habis 80 juta bikin fondasi rumah… kog iso…”
    Ko : “ Ya jangan terlalu dipikirkan, padhe… (?)
    Ki : “ Aku juga dah capek mikir.”
    ko : ” Serahin semuanya pada Tuhan, Padhe. Seperti yang padhe pernah bilang kalo semua ada masanya.”
    ki : ” Iya… ada masanya.”
    ko : ” Padhe percaya sama Tuhan kan?”
    ki : (menganguk dan menerawang) ” Percaya.”

    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data jika konseli Padhe Yo perlu pendampingan agar dapat menerima keadan dirinya dan memasrahkan semuanya pada Tuhan. Pendampingan ini diharapkan mampu mengurangi beban Padhe terhadap masalah anak-anaknya. Dengan demikian judul dari Layanan Konseling kami adalah ” BERPEGANG PADA TANGAN TUHAN UNTUK HIDUP YANG ABADI” (????)

  5. Monic & Sr Imelda said

    Kami berdua sr Imel & Monic, mendampingi seorang ibu rumah tangga berusia 55 tahun, bernama Veronika (bukan nama sebenarnya) dari suku Jawa yang mempunyai seorang suami dari suku Flores. Suaminya sejak empat tahun yang lalu menderita sakit stroke dan mengalami kelumpuhan total. Pada tanggal 16 November 2010 kami berdua datang ke rumah ibu Veronika dan melihat keadaan suaminya. Kami sangat terkejut dan sedih melihat keadaan suaminya yang tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali berbaring di tempat tidur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas. Ketika itu istrinya (ibu Veronika) dengan penuh kasih dan kelembutan menyuapi suaminya makanan bubur yang dicampuri wortel. Dari pembicaraan kami, ibu nampak merasa bahagia setelah melewati pergulatan yang panjang untuk dapat menerima kondisi sakit suaminya itu dan sanggup melatih kesabarannya untuk merawat suaminya secara total. Berdua bersama suaminya yang sakit seperti itu bagi ibu Veronika tidak menjadi persoalan karena ibu Veronika telah dapat menerima keadaan tersebut. Dulu ibu Veronika pernah merencanakan dan bercita-cita jika mereka memasuki masa tua dan hidup berdua bersama suami, berbahagia berdua, berjalan-jalan santai di pagi atau sore hari, dan aktif dalam kegiatan gereja. Seseorang memang boleh merencanakan sesuatu tapi Tuhanlah yang menentukan. Ibu Veronika pun akhirnya dapat menerima kenyataan suaminya sakit seperti itu karena stroke dan tetap dapat melihat jika semuanya itu merupakan bukti kasih Tuhan kepadanya. Pada kunjungan yang kedua tanggal 23 November 2010, ibu Veronika menceritakan bahwa sejak masa kanak-kanak sudah dilatih untuk hidup mandiri dan memutuskan sesuatu sendiri untuk bergabung menjadi anggota gereja katolik. Sejak saat itu sampai ayahnya meninggal imannya terus diuji oleh ayahnya sendiri dan walaupun terus diuji ditantang iman ibu Veronika tidak goya. Ibu Veronika memaknai ujian dan tantangan itu sebagai pendorong bagi ibu Veronika untuk semakin mencintai Tuhan dan setia pada pilihannya. Menjelang kematian ayahnya ibu Veronika mendapat amanah dari ayahnya bahwa ayahnya ingin dituntun oleh ibu Veronika agar dibabtis. Pengalaman ibu Veronika sejak masa kecil itulah yang membuatnya mampu memaknai setiap peristiwa dan pengalaman hidup baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Tak mengherankan apabila sekarang ini ia pun mampu menerima keadaan suaminya dan tetap sanggup melihat peristiwa tersebut sebagai bukti kasih Tuhan. AKibatnya, ia sanggup melayani suaminya dengan penuh kasih, sabar, setia, dan membagi waktunya dengan baik untuk ikut ambil bagian dalam pelayanan gereja di bidang pewartaan.
    Hasil dari dua kali kunjungan ke rumah ibu Veronika, seperti yang telah tertuang di atas kami berdua memutuskan untuk menggunakan teori Maslow. Alasan kami menggunakan teori ini karena dari hasil sharing pengalamannya dan melihat ekspresi diri sangat jelas ibu Veronika sudah merasakan seluruh kebutuhan dasar telah terpenuhi yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, memiliki dan cinta, kebutuhan akan penghargaan dan sekarang masuk dalam proses mengatualisasikan diri.
    Pertemuan kami dengan ibu Veronika tanggal 27 November 2010, kami memancing klien dengan percakapan sebagai berikut:

    Ko : Ibu….bagaimana kabar hari ini
    Ki : Baik….
    Ko : Bagaimana keadaan bapa?
    Ki : Ya sedikit demi sedikit ada perubahan terutama rewelnya sudah sangat berkurang, bapa mau makan nasi dan sayur dalam porsi yang cukup banyak dan tidak memuntahkan lagi karena biasanya bapa memuntahkan lagi. Perubahan ini sangat saya syukuri.
    Ko : Kalau boleh kami tahu pengalaman apa yang membahagiakan ibu ketika bapa masih sehat.
    Ki : Pengalaman yang membahagiakan dan membuat saya setia adalah kami tidak pernah bertengkar. Jika ada konflik atau kecemburuan satu sama lain kami langsung menyelesaikan dengan komunikasi yang baik dan saling terbuka siapa diri kami masing-masing dan keinginan untuk diperlakukan seperti apa. Kami berdua setia pada komitmen yang telah direncanakan dan disepakati bersama. Ya memang kami berjuang pada awal masa hidup bersama. Kami berdua berasal dari suku yang berbeda dan kami berusaha untuk selalu mengkomunikasikan apa yang mengganjal di hati dalam hal berperilaku, berbicara, bergaul, dan bertindak sesuai dengan peran masing-masing. Saat ini saya merasa bersyukur karena dipercayakan oleh Tuhan untuk melayani dan merawat suami saya. Saya melihat dan memaknai semua peristiwa dan keadaan ini sebagai bukti kasih Allah. Bagi saya kasih Allah tidak hanya dalam bentuk hal yang menyenangkan saja tetapi dalam bentuk penderitaan. Dalam penderitaan inilah yang membuat saya semakin mencintai Tuhan karena dalam diri suami saya Tuhan hadir dan saya boleh menemani memikul salib bersama.
    Ko : woooh..luar biasa bu….dari pengalaman yang ibu sharing sejak kita pertama kali bertemu sampai hari ini bagi kami sungguh pengalaman yang luar biasa indah dan mengagumkan dan sekaligus kami terharu. Dalam syering ibu menemukan dan memaknai semua yang dialami sebagai bukti kasih Allah. Kami yakin tentu ada ayat kitab suci yang menyemangati ibu atau yang mendorong ibu semakin teguh dalam iman. Bolehkah ibu mensyeringkan ayat kitab suci itu yang menjadi pegangan ibu?
    Ki : ya….suster dan mba Monic memang ayat yang menguatkan saya itu banyak tetapi yang paling itu adalah dari perikop ijil tentang Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum Mat. 8: 5-13. Ayat yang terus menerus menjadi pegangan saya adalah ayat 8, “Tuan aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku katakan saja sepatah kata, maka hamba itu akan sembuh”. Kata hamba saya ganti dengan suamiku akan sembuh.
    KO : Waah…luar biasa bu…terimakasih sudah mau berbagi. Kami belajar banyak hal dari apa yang sudah ibu syeringkan dari pengalaman ibu.
    Ki : terimakasih juga karena mau mendengarkan saya dan tetap mohon doanya untuk kami sekeluarga dan kehendak Tuhan yang terbaik bagi bapa.
    Ko : ya…bu.

    Dari hasil konseling kami mendapatkan data bahwa klien merasa bersyukur karena dipercayakan oleh Tuhan untuk melayani dan merawat suaminya. Ia melihat dan memaknai semua peristiwa dan keadaan ini sebagai bukti kasih Allah. Baginya kasih Allah tidak hanya dalam bentuk hal yang menyenangkan saja tetapi dalam bentuk penderitaan. Dalam penderitaan inilah yang membuat dirinya semakin mencintai Tuhan karena dalam diri suaminya ia dapat melihat kehadiran Tuhan dan ia merasa mempunyai kesempatan untuk menemani dan memikul salib bersama. Jadi dapat disimpulkan jika klien sudah bisa menerima keadaan atau kenyataan hidup atas penderitaan suaminya. Ayat kitab suci dan sabda Tuhan yang menguatkan klien adalah ayat 8 “Tuan aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepata kata, maka hamba itu akan sembuh”
    Dengan demikian judul layanan konseling pastoral kami adalah “SABDA TUHAN MENYEMBUHKAN”

  6. Fransiska Dian Widhowati said

    Saya, Fransiska Dian Widhowati (Sr. Emilia PMY) mendampingi pasien :
    Nama : Ibu Yani (bukan nama sebenarnya)
    Jenis kelamin : Perempuan
    Usia : 45 tahun
    Pekerjaan : Pekerja Sosial

    Permasalahan :
    Ibu Yani adalah seorang yang memiliki kepribadian yang hangat, supel, perhatian kepada orang lain. Dia juga tipe orang yang suka bekerja keras. Tanpa tanggung-tanggung dia akan terjun ke lapangan untuk memberikan contoh yang baik bagi para petani yang didampinginya. Sejak 1 tahun belakangan ini ibu Yani marah dengan teman sekelompoknya. Hal itu dipicu dari pengalaman ibu Yani tidak diberi uang transport selama satu tahun dan kecurigaan dari temannya bahwa ibu Yani telah menggunakan uang kelompok yang mereka dampingi. Ibu Yani marah dengan temannya itu, sampai-sampai ibu Yani bertengkar mulut dengan temannya itu. Perasaan marah, jengkel, dan kecewa mendominasi sampai saat ini. Beliau berpikir bahwa temannya itu keterlaluan, menuduhnya telah menggunakan uang kelompok, padahal dia sama sekali tidak menggunakan, dan hal itu dapat dibuktikan dari data yang ada di rekening tabungan kelompok. Bahkan menurut penuturannya, karena dia tidak diberi uang transport untuk pergi ke kelompok-kelompok, maka dia menggunakan uang pribadinya. Sampai saat ini ibu Yani masih menyimpan kemarahan terhadap temannya, dan hal itu nampak dari perilakunya yang cenderung menghindari temannya saban mereka bertemu, atau berbicara dengan sinis dan berintonasi tinggi. Dia sering berkata bahwa dia akan menunjukkan bahwa dia bisa tetap bekerja tanpa bantuan temannya itu. Dalam sharing terungkap beberapa kali kalimat yang mengatakan bahwa dia masih marah dengan temannya itu, dan akan terus ingat pengalaman itu sebagai pengalaman yang menyakitkan buat dirinya.
    Dari hasil pembicaraan akar masalah ibu Yani memiliki gejala tersebut. Oleh karena itu saya hendak membantu ibu Yani untuk mengubah perasaan marah, jengkel, dan kecewa, dan pikirannya bahwa temannya tidak mengerti dirinya dengan menggunakan teori dari Daniel Goleman tentang ‘Kecerdasan Emosional’. Menurut Goleman, pribadi yang dewasa memiliki kecerdasan emosional meliputi :
    A.Kesadaran diri
    Kemampuan untuk memahami proses yang terjadi dalam dirinya yakni perasaan, pikiran, dan latar belakang tindakannya.
    B.Kemampuan mengelola emosi
    Kemampuan mengelola emosi negatif dengan berusaha tidak menolak melainkan mengambil hikmahnya kemudian memaafkan diri sendiri dan orang lain yang terlibat di dalamnya.
    C.Optimisme
    Kemampuan seseorang memotivasi diri untuk mampu berpikir positif dan menumbuhkan semangat dalam hidupnya yang berakibat menjadi mampu terus berjuang ketika menghadapi hambatan yang besar, tidak mudah utus asa dan kehilangan harapan.
    D.Empati
    Kemampuan seseorang untuk memahami perasaan, pikiran dan tindakannya sehingga dia bertenggang rasa dengan dirinya sendiri.
    E.Ketrampilan sosial
    Kemampuan seseorang membangun hubungan secara efektif dengan orang lain dan mampu menangani konflik-konflik interpersonal secara efektif, ia pun sekaligus menjadi pribadi yang kreatif.
    Ibu Yani selama 2 tahun ini masih diliputi dengan perasaan marah yang menurut Tice (Goleman, 2009: 82) sebagai suasana hati yang paling susah diajak kompromi. Marah jika tidak dapat dikendalikan akan membuat seseorang menjadi tidak mudah memaafkan dan tidak bisa berpikir jernih; yang mereka pikirkan hanyalah seputar balasa dendam dan tindak balas, lupa akan akibat-akibat yang ditimbulkan setelahnya. Ibu yani dalam hal ini masih belum bisa memaafkan temannya yang terlibat dalam pengalaman yang tidak mengenakkan itu. Tanpa dia sadari, ibu Yani juga belum bisa memaafkan dirinya sendiri, bahwa entah beberapa prosen dia memiliki andil atas pengalaman itu. Ketidakmampuannya untuk mengelola emosi marah inilah yang menjadi pusat perhatian saya dalam mendampingi ibu Yani. Karena jika marah ini terus berlanjut, maka ibu Yani akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan secara efektif dengan temannya, dan tentu di tidak akan mengalami kebahagiaan hidup.
    Dalam pertemuan dengan ibu Yani berikutnya, saya memancing ibu Yani dengan percakapan-percakapan berikut :
    Selasa, 19 Oktober 2010 pkl 18.30an
    Saya : Selamat sore bu, berkah Dalem
    Ibu Yani : Berkah Dalem Suster, ..
    Saya : Matur nuwun, … Bagaimana bu perasaannya hari ini ? (PHT)
    Ibu Yani : Ya, masih sama dengan kemarin ..hehehe….
    Saya : Sama ? (Pengulangan satu/dua kata)
    Ibu Yani : Ya, biasa aja suster. Udah sehari-hari kayak gitu.
    Saya : Ohh, … (Penerimaan) Apakah tidak ada perasaan yang istimewa ?
    Ibu Yani : Malah jengkel dan sedih, Suster
    Saya : Loh, kok jengkel ? Apakah ada sesuatu ? (PHT)
    Ibu Yani : Iya, pagi tadi saya ditelepon oleh teman bahwa tempat pelatihan yang sudah dirintis bersama selama 10an tahun akan ditutup, karyawannya akan diberhentikan. Coba Suster bayangkan, ….. 10 tahun loh.
    Saya : Ooooh, … (Penerimaan) Ada apa tho bu kok sampai ditutup ? (PHT)
    Ibu Yani : Karena katanya teman, bahwa tempat pelatihan itu tidak profit, dan orang-orang yang bekerja didalamnya terus saja bertengkar. Padahal sepengetahuan saya, tempat pelatihan itu memang dibuat tidak untuk mencari keuntungan, tetapi untuk sarana belajar petani yang ingin bercocok tanam secara organik.
    Saya : Ohhh, ya …ya … (Penerimaan) Lalu gimana bu ? (Ajakan untuk melanjutkan)
    Ibu Yani : Ya tidak tahu lah Suster, terserah teman aja. Tetapi rasanya saya kecewa banget. Apalagi saya pernah juga bekerja di tempat itu.
    Saya : Lalu, apakah teman (yang pernah menuduhnya) tahu kalau tempat pelatihan itu ditutup ? (PHT)
    Ibu Yani : Saya tidak tahu Suster, apakah dia sudah tahu atau belum. Terserah, dan saya juga tidak mau tahu.
    Saya : Nampaknya ibu masih marah ya dengan teman ibu itu, betul begitu ? (Klarifikasi perasaan)
    Ibu Yani : ……. (tersenyum sedikit) …
    Saya : Eman-eman loh bu kalo masih marah terus dengan temannya ibu itu, khan kita diajari untuk terus mengampuni orang yang bersalah pada kita ?
    Ibu Yani : Kados pundi Suster, taksih lara ning ati kulo (bagaimana Suster, masih sakit di hati saya)
    Saya : Ya, kalau ibu tidak pelan-pelan melepas rasa itu, ya rasa itu nggendol terus, … eman bu. Mungkin teman ibu sudah tidak meengingat kejadian itu dan bisa pergi kemana-mana dengan nyaman sementara ibu masih nggendol marah terus. (Pemberian informasi)
    Ibu Yani : Ya pikirannya sich mengampuni, tetapi hati kok rasanya masih sakit. Saya ingat terus ‘’pas temen yang menyalahkan saya itu, … Dia itu ndak ngerti blas, ngapain tho saya korupsi uang kelompok ? kalo uangnya banyak sih oke, la wong kenyataannya saya malah banyak pakai uang saya sendiri. Waktu kapan sih teman tanya, apakah uang saya diganti atau tidak, … ugh … jotek (Ojo ngantek = jangan sampai). Seharusnya dia paham donk, kalo untuk pergi kemana-mana itu butuh duit buat bensin. Nganyelke tenan (menjengkelkan sekali).
    Saya : Ohhh, … terus ibu menolak uang ganti itu ? (PHT)
    Ibu Yani : Malas nerimanya, … ‘ndak butuh.
    Saya : Ibu lalu kalo pergi mengunjungi petani-petani itu menggunakan uang ibu ? Apakah dari gaji ibu ?
    Ibu Yani : Pekerja sosial mana ada gajinya Suster ? kayak saya gini uangnya dari keluarga. Kadangkala bapak, kakak dan adik saya memberi saya uang, saya kumpulkan uang dari mereka, terus kalo saya membutuhkan saya pakai.
    Saya : Ohhh … (Penerimaan) Lalu apakah ibu masih sok menghindari teman ibu itu ?
    Ibu Yani : Sok – sok (kadangkala) Suster, …
    Saya : Sakjane apa tho yang jadi pengharapannya ibu Yani dari teman ibu itu ?
    Ibu Yani : Ya kayak yang saya omongkan tadi, mbok dia itu mengerti kalo kemana-mana itu butuh duit. Toch selalu ada laporan penggunaannya. Tapi sudah ‘ndak ngasih uang, masih menuduh saya yang pakai uang kelompok.
    Saya : Jadi ibu Yani berpikir kalau teman ibu itu tidak mengerti keadaan ibu. (Refleksi pikiran)
    Ibu Yani : Iya Ter, …
    Saya : Ibu udah pernah omong-omongan ndak dengan temannya itu ? (PHT)
    Ibu Yani : Ya, waktu itu, setelahnya kalau omong membicarakan yang lain.
    Saya : Ohhh, ….

    Pembicaraan antara saya dan Ibu Yani terus berlanjut, tetapi saya menangkap kesan bahwa ibu Yani masih belum bisa mengampuni temannya yang telah menuduhnya menggunakan uang kelompok. Pembicaraan tidak berkembang pada usaha untuk mengampuni temannya, tetapi masih berputar bahwa temannya tidak mengerti dirinya. Dari hasil konseling ini saya mendapatkan data jika ibu Yani belum mengalami perubahan pikiran / perasaan. Singkatnya ibu Yani masih berada dalam tahap marah (anger). Ibu Yani kurang memahami gerak di dalam dirinya yang mencoba membahasakan keterlukaan dirinya menuju pada pengampunan.
    Kemarahan (anger) menurut Dr. Elisabeth Kübler Ross (Dennis Linn, 2002: 33) merupakan salah satu tahap yang berperan dalam hal mengampuni. Karena dalam kemarahan menyimpan rahmat yang tersembunyi yang memberitahukan di mana letak luka ibu Yani, dan juga tanda kepekaan terhadap ketidakadilan. Kemarahan mengindikasikan bahwa luka batin telah muncul ke permukaan, dan siap untuk diobati, dan untuk mengkoreksi apa yang perlu dikoreksi.
    Teologi yang saya ambil untuk kasus ibu Yani ini dari Yohanes 13: 18-30 tentang pengkhiatan Yudas Iskariot. Yudas adalah salah satu murid yang dikasihi Tuhan Yesus, tetapi dia bereaksi secara berbeda terhadap kasih Yesus. Yudas menolak dan takut akan kasih, ia menyingkirkan Yesus. Yudas menggambarkan orang yang terpenjara dalam kegelapan, yang hatinya penuh dengan rasa benci dan tidak bisa tenang. Puncaknya Yudas menjual Yesus kepada tua-tua Yahudi. Pengkhiatan Yudas mendorongnya untuk bunuh diri (bdk. Mat 27:5). Tetapi mungkin sebelum dia kehilangan kesadaran dan mati, dia ingat akan wajah Yesus yang penuh kasih dan pengampunan ketika Dia membasuh kakinya lalu hatinya terbuka terhadap kasih dan kerahiman Yesus. Dari bacaan ini saya memiliki harapan bahwa ibu Yani mampu mengampuni temannya itu belajar dari teladan Tuhan Yesus yang mengampuni Yudas yang telah mengkhianatinya. Dengan demikian judul layanan Konseling Pastoral saya dengan ibu Yani adalah “Pengampunan Sebagai Jalan Kasih yang Membebaskan”.

    Sumber Referensi :
    Goleman, Daniel, 2009, Emotional Intelligence, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
    Linn, Dennis, dkk., Don’t Forgive Too Soon, Jakarta, OBOR
    Vanier, Jean, 2009, Tenggelam ke Dalam Misteri Yesus, Yogyakarta, Kanisius

  7. putri dan lisa said

    Kami berdua (Putri dan Lisa), mendampingi pasien seorang laki-laki berusia 53 tahun dan bernama Bapak Anto (bukan nama sebenarnya) beserta istrinya yang bernama Anti ( bukan nama sebenarnya ,48 tahun, seorang perawat). Bapak Anto menderita tumor limpa dan tidak bisa berjalan sejak satu bulan yang lalu tepatnya awal bulan November. Dari 3 kali kunjungan, konseli menujukkan gejala perasaan tenang dan perilakunya menerima. Semuanya nampak dari sikapnya yang tidak mudah mengeluh, serta bersedia menjalani proses penyembuhan di rumah sakit dengan sabar. Istrinya pun selalu mendampingi dengan setia.
    Perilaku menerima konseli dapat disoroti dari teori Golman, sebab konseli dan istrinya mampu mengelola emosi negatif dengan bersedia menerima kondisi sakitnya itu apa adanya. Selain itu, konseli terus berusaha menyembuhkan penyakit, selalu optimis dan mampu memotivasi diri: pasti sembuh.
    Dalam percakapan konseling, kami memancing konseli dengan percakapan sebagai berikut:

    PERTEMUAN I
    Ko : Selamat siang pak… bagaimana keadaannya?
    Ki : ya… lumayan, sudah agak mendingan…..
    Ko : sudah berapa hari pak disini?
    Ki : ya sekitar 2 minggu….
    Ko : bagaimana pak rasanya?
    Ki : ya… seperti ini….
    Ko : Kenapa pak kok lebih memilih dirawat di sini, bukan di Blitar saja?
    Ki : ya saya lebih senang di sini, tidak merepotkan orang banyak. Pengobatan yang saya butuhkan lebih lengkap di sini dan juga tidak merepotkan isteri saya.
    Ko : oh begitu..
    (Ko lalu mengalihkan pembicaraan kepada ibu) Bagaimana perkembangan bapak?
    Ki (istri): ya sudah lumayan. Sudah mendingan, tetapi masih belum mau makan (dengan raut wajah tetap tersenyum)
    Ko : Ibu mendampingi bapak apakah karena mengambil cuti atau libur?
    Ki (istri): ambil cuti, agar saya bisa menemani bapak….
    Ko : emmm.. lho kok bapak dibawa kesini bu? Bukankah ibu bekerja di rumah sakit?
    Ki (istri): Saya merasa disini bapak akan mendapatkan perawatan yang lebih baik sebab dokter spesialis yang menanganinya ada di sini.

    PERTEMUAN II
    (karena kondisi konseli sudah tidak bisa berbicara dengan lancar, konselor lebih banyak mendampingi isrinya)
    Ko : selamat siang bu…
    Ki : selamat siang mba….
    Ko : bagaiman perkembangan bapak?
    KI : ya.. ini sudah lumayan. Cairan yang ada di dalam tubuhnya sudah di ambil sedikit- sedikit. Jadi beliau sudah merasa agak enakan dan juga sudah bisa tidur nyenyak (dengan wajah tersenyum dan nada suara tenang). Itu bapaknya mau ngomong.. tadi pas gak ada kamu, gak mau ngomong…..
    Ko : Gimana pak?
    Ki : (tersenyum) ya… sudah lumayan (sambil terbata- bata karena sesak nafas)
    Ko : Iya pak. Yakin pasti sembuh… (karena kasihan melihat bapaknya sudah tidak dapat berbicara lancar dan menghentikan pembicaraan)
    Ki : iya.. (sambil mengangguk)

    PERTEMUAN III
    (Keadaan suami sudah tidak dapat berbicara)
    Ko : selamat sore bu…..
    Ki : selamat sore mba….
    Ko : Gimana bu kabar bapak hari ini?
    Ki : tadi jam 9 pagi, bapak sudah mau diambil Tuhan. Tapi untungnya terselamatkan. Tadi alat- alat sudah dikeluarkan semua untuk membantu menyelamatkan ( Raut muka tetap tenang)
    Ko : lalu gimana bu?
    Ki : ya terus kita berdoa bareng- bareng, biar bapak di kasih yang terbaik….
    Ko : iya bu, saya yakin bapak itu pasti sembuh..
    Ki : iya, saya juga rencana mau membawa bapak ke Blitar kembali saja. Agar saya lebih mudah untuk mengawasinya. Kalo hanya sekedar perawatan seperti ini, saya pikir di Blitar bisa.
    Ko : gak kasihan kalau di bawa ke Blitar, perjalananya kan jauh…
    Ki : ya besok saya mau konsultasi dulu pada dokter. Kalu bisa, kan saya bisa terus mengawasi keadaan bapak sambil terus bekerja. Lagian kasian anak- anak sekolahnya jadi terlantar.
    Ko : jadi ibu merasa lebih nyaman dan tenang kalau bapak di bawa kesana?
    Ki : iya mba…. karena saya bisa melihat perkembangan bapak dan di Blitar bapak pasti mendapat banyak dukungan dari teman- temannya.

    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data jika konseli tidak mau merepotkan orang banyak, mau berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya, merasa tenang dan tidak khawatir menghadapi penyakitnya, pasrah pada Tuhan dan mau menerima kenyataan. Berarti, Konseli dan keluarga sudah menerima penyakit yang diderita oleh bapak dengan terbuka dan tetap berusaha mencari jalan untuk menyembuhkan penyakit yang di derita oleh bapak. Dapat disimpulkan, jika konseli ingin berusaha menyembuhkan penyakit yang diderita oleh suaminya, dan selalu ingin mendampingi suaminya menghadapi penyakitnya.
    Dengan demikian, judul dari layanan KP kami terhadap konseling adalah “ ARTI SETIA”

  8. lia dan osha said

    Kami berdua (Osha dan Lia) mendampingi pasien seorang laki-laki usia 56 tahun yang bernama Pak Handoyo. Ia menderita stroke sejak dua bulan yang lalu dan saat ini Pak Handoyo sedang mempersiapkan diri untuk melakukan operasi kandung kemih yang akan dilaksanakan pada hari Rabu 1 Desember 2010 jam 12.00. Dari 3 kali kunjungan, konseli menunjukkan gejala perasaan takut dan mudah marah, hal tersebut nampak dari perilakunya yang selalu meminta mundur jadwal operasinya. Selain itu, Pak Handoyo sering membentak-bentak anaknya ketika anaknya mengatakan sesuatu, misalnya waktu anaknya berkata “Pah, jangan kebanyakan mikir; ga usah mikirin orang lain dulu”. Dengan nada tinggi ayahnya berkata “Sopo sing kakean mikir, aku ki ra mikirke de’e, ojo ngawur to”. Pak Handoyo sempat mengungkapkan kepada kami bahwa penyakitnya disebabkan oleh tingkah laku kedua anaknya yang sering bertengkar. Setiap ada orang yang menjenguk, konseli selalu bertanya pada orang yang menjenguk, apakah penyakitnya ini parah atau tidak.
    Dari hasil pembicaraan, akar masalah konseli nampak dari gejala-gejala perilaku di atas. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli untuk mengubah perasaan dan pikiran konseli dengan menggunakan teori Goleman. Kami menggunakan teori Goleman dengan alasan konseli belum mampu menerima keadaan dirinya dan mengelola emosinya.
    Dalam pertemuan berikutnya kami memancing konseli dengan percakapan sebagai berikut:
    Ko : Gimana om kabarnya?
    Ki : Badan lemes, gak doyan makan!
    Istri ki : Mbak besok Rabu jam 12 mau dioperasi.
    Dokter ki: Gimana pak,kemarin gulanya di cek tinggi atau gak?
    Ki : …., dok operasinya jadinya kapan?
    Dr : Ya manut bapak siapnya kapan, besok bisa, jumat bisa! Apa mau diundur lagi?
    Ki : Rasanya gimana to dok dioperasi, sakit gak? biusnya total gak?
    Dr : biusnya tuh Cuma sampai pinggul ke atas pak.
    Ki : ko gak total dok. Kalo jumat aja gimana dok operasinya?
    Dr : ya saya ndherek bapak mau kapan. Lebih cepat lebih baik.
    Istri Ki : dok penyakitnya ga parah-parah banget toh. Operasinya besok aja dok gak usah ditunda-tunda lagi.
    Dr : belum parah ko bu.
    Istri Ki : ya udah dok besok aja jam 12, gak usah di undur-undur lagi.
    Ko : gimana om apa yang di rasakan?
    Ki : ya ini lemes, tobat e mba. Mikirke Ita dan Ega, sebenarnya saya sakit gara-gara anak saya yang selalu berantem.
    Ko : jadi menurut om, penyakit om terjadi karena perilaku anak-anak om yang sering berantem.
    Ki : iya mba.
    Ko : om sebelumnya saya minta maaf, apakah sumber dari penyakit om itu sepenuhnya bersumber dari perilaku anak-anak om atau masih ada sumber lain dari diri om sendiri?
    Ki : ya gak sepenuhnya bersumber dari anak saya, memang pola makan saya juga kurang bagus dan saya hanya memikirkan sendiri permasalahan yang sedang saya hadapi, saya tidak mau bercerita dengan istri saya karena gak mau merepotkan.
    Ko : mmm…begitu, sebenarnya saat ini apa yang om inginkan?
    Ki : ya saya sih inginya cepet sembuh dan saya yakin saya pasti bisa sembuh. Saya juga belum siap meninggalkan anak dan istri saya.
    Ko : apa yang membuat om berpikir seperti itu?
    Ki : anak saya masih kecil dan kasihan istri saya kalo harus menjadi tulang punggung untuk mengurusi anak-anak dan usaha keluarga.
    Ko : ok yang semangat ya om, yakin om pasti bisa sembuh.
    Dari hasil konseling kami mendapat data jika konseli berpikir bahwa tidak sepenuhnya penyakit yang dideritanya bersumber dari tingkah laku anak-anaknya tetapi konseli menyadari bahwa pola makan yang tidak teratur dan sikapnya yang tertutup yang membuat dirinya sakit. Namun di sisi lain konseli memiliki sikap optimis untuk bisa sembuh dari penyakitnya.
    Dapat disimpulkan jika konseli sudah menyadari bahwa pikirannya yang menyalahkan anaknya itu tidak sepenuhnya benar. Dari hasil konseling, kami menyimpulkan bahwa klien sudah menerima penyakitnya bahwa rencana Tuhan itu selalu indah dibalik situasi yg ia hadapi. Dengan demikian, judul dari layanan KP kami terhadap klien adalah “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatanku”.

    • dhian dan mia said

      Kami berdua ( dian dan mia) mendampingi pasien seorang perempuan usia 50 tahun, yang bernama Ibu Haryati ( bukan nama sebenarnya). Ia menderita lemah jantung sejak ia mengandung anaknya yang ke empat. Dari tiga kali kunjungan konseli menunjukkan gejala pikiran bahwa keluarga tidak memperhatikan, perasaan bosan, sedih, kecewa, dan marah. Hal tersebut nampak dalam perilaku mudah tersinggung / mudah marah dan memaksakan diri untuk banyak beraktivitas.
      Dari hasil pembicaraan akar masaalah konseli memiliki gejala belum mampu menyadari keadaan dirinya. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli mengubah perasaannya dengan mengunakan teori dari Goleman karena dia belum bisa menerima keadaan dirinya.
      Dalam pertemuan berikutnya kami memancing konseli dengan percakakapan sebagai berikut :
      Ko : Bagaimana kabar ibu hari ini?
      Ki : Baik. Bagaimana dengan kalian?
      Ko : Kami juga baik,Bagaimana dengan perkembangan kesehatan ibu?
      Ki : Ya kadang- kadang sakit saya masih sering kambuh.
      Ko : O ya….Apakah ibu masih sering check up?
      Ki : Enggak… soalnya saya sudah bosan..
      Ko : Lalu apa yang membuat ibu bosan?
      Ki : ya bosan karena jadi makan obat terus,,,,,
      Ko : Lalu apa yang ibu lakukan?
      Ki: Saya Cuma pijat refleksi aja sekarang.
      Ko : Bagaimana perasaan ibu dengan penyakit ini?
      Ki: Saya sedih soalnya jadi merepotkan orang lain dan keluarga.
      Ko: O….. begitu….
      Ki: Saya jengkel karena saya tidak bisa melakukan aktifitas dengan baik.
      Ko: Sepertinya ibu jengkel dengan keadaan ini, benar begitu?
      Ki: ya benar mbak, saya itu rasanya ingin marah terus
      Ko: Biasanya ibu marah pada saat keadaan yang bagaimana?
      Ki : Saat orang lain tidak memperhatikan saya.
      Ko : memperhatikan?
      Ki : Iya terkadang orang lain tidak bisa mengerti kondisi saya.
      Ko : Jadi ibu berpikir kalau orang lain dan keluarga tidak memperhatikan kondisi ibu.
      Ki: ya begitulah, suami saya sering sibuk dengan pekerjaannya dan anak-anak saya cuek.
      Ko : Lalu bagaimana relasi ibu dengan suami dan anak-anak?
      Ki : Kurang baik
      Ko : maksudnya kurang baik bagaimana?
      Ki : ya saya sering bertengkar sama suami saya dan saya sering marahin anak-anak saya karena tidak mau mengerti saya.
      Ko; kalau ibu sakit apakah mereka tidak menghiraukan ibu?
      Ki : ya menghiraukan sih mbak bahkan merawat saya
      Ko : oya……. Lalu bagaimana perasaan dengan keadaan yang seperti ini?
      Ki : ya kecewa
      Ko : Lalu?
      Ki : Saya hanya bisa berdoa dan berserah diri pada tuhan
      Ko : caranya bagaimana bu?
      Ki : saya berdoa sehabis sholat biar saya tetap kuat menghadapi semua ini
      Ko : oya bagus itu bu. Kalau boleh tahu apa yang ibu inginkan?
      Ki : sebenarnya saya ingin bahagia meskipun dalam keadaan yang seperti ini, tapi kok susah ya.
      Ko : ibu yakin aja bahwa allah memberikan cobaan tidak melebihi kemampuan umatnya, dalam al-quran surat al-anfal ayat 46 “Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar”.
      Ki : o…… iya ya mbak saya sebaiknya sabar ya dalam menghadapi kenyataan ini dan sebenarnya keluarga saya memperhatikan saya.
      Ko : iya bu benar itu
      Dari hasil Konseling, kami menetapkan kata jika konseli mulai memiliki kesadaran dengan kenyataan hidup, berarti dapat disimpulkan jika konseli ingin berubah dalam pikiran dan perasaannya.

    • igna said

      Perbaiki judulnya, ada sedikit kesalahan dalam pemilihan kata

    • igna said

      Tolong beberapa kalimat bahasa Jawa supaya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lalu perhatikan kalimat-kalimat yang diucapkan pada saat memberikan layanan konseling, apakah semuanya tepat ucapannya itu untuk menanggapi klien dengan kondisi tertentu?

    • igna said

      “Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan”

  9. dhian dan mia said

    Kami berdua ( dian dan mia) mendampingi pasien seorang perempuan usia 50 tahun, yang bernama Ibu Haryati ( bukan nama sebenarnya). Ia menderita lemah jantung sejak ia mengandung anaknya yang ke empat. Dari tiga kali kunjungan konseli menunjukkan gejala pikiran bahwa keluarga tidak memperhatikan, perasaan bosan, sedih, kecewa, dan marah. Hal tersebut nampak dalam perilaku mudah tersinggung / mudah marah dan memaksakan diri untuk banyak beraktivitas.
    Dari hasil pembicaraan akar masaalah konseli memiliki gejala belum mampu menyadari keadaan dirinya. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli mengubah perasaannya dengan mengunakan teori dari Goleman karena dia belum bisa menerima keadaan dirinya.
    Dalam pertemuan berikutnya kami memancing konseli dengan percakakapan sebagai berikut :
    Ko : Bagaimana kabar ibu hari ini?
    Ki : Baik. Bagaimana dengan kalian?
    Ko : Kami juga baik,Bagaimana dengan perkembangan kesehatan ibu?
    Ki : Ya kadang- kadang sakit saya masih sering kambuh.
    Ko : O ya….Apakah ibu masih sering check up?
    Ki : Enggak… soalnya saya sudah bosan..
    Ko : Lalu apa yang membuat ibu bosan?
    Ki : ya bosan karena jadi makan obat terus,,,,,
    Ko : Lalu apa yang ibu lakukan?
    Ki: Saya Cuma pijat refleksi aja sekarang.
    Ko : Bagaimana perasaan ibu dengan penyakit ini?
    Ki: Saya sedih soalnya jadi merepotkan orang lain dan keluarga.
    Ko: O….. begitu….
    Ki: Saya jengkel karena saya tidak bisa melakukan aktifitas dengan baik.
    Ko: Sepertinya ibu jengkel dengan keadaan ini, benar begitu?
    Ki: ya benar mbak, saya itu rasanya ingin marah terus
    Ko: Biasanya ibu marah pada saat keadaan yang bagaimana?
    Ki : Saat orang lain tidak memperhatikan saya.
    Ko : memperhatikan?
    Ki : Iya terkadang orang lain tidak bisa mengerti kondisi saya.
    Ko : Jadi ibu berpikir kalau orang lain dan keluarga tidak memperhatikan kondisi ibu.
    Ki: ya begitulah, suami saya sering sibuk dengan pekerjaannya dan anak-anak saya cuek.
    Ko : Lalu bagaimana relasi ibu dengan suami dan anak-anak?
    Ki : Kurang baik
    Ko : maksudnya kurang baik bagaimana?
    Ki : ya saya sering bertengkar sama suami saya dan saya sering marahin anak-anak saya karena tidak mau mengerti saya.
    Ko; kalau ibu sakit apakah mereka tidak menghiraukan ibu?
    Ki : ya menghiraukan sih mbak bahkan merawat saya
    Ko : oya……. Lalu bagaimana perasaan dengan keadaan yang seperti ini?
    Ki : ya kecewa
    Ko : Lalu?
    Ki : Saya hanya bisa berdoa dan berserah diri pada tuhan
    Ko : caranya bagaimana bu?
    Ki : saya berdoa sehabis sholat biar saya tetap kuat menghadapi semua ini
    Ko : oya bagus itu bu. Kalau boleh tahu apa yang ibu inginkan?
    Ki : sebenarnya saya ingin bahagia meskipun dalam keadaan yang seperti ini, tapi kok susah ya.
    Ko : ibu yakin aja bahwa allah memberikan cobaan tidak melebihi kemampuan umatnya, dalam al-quran surat al-anfal ayat 46 “Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar”.
    Ki : o…… iya ya mbak saya sebaiknya sabar ya dalam menghadapi kenyataan ini dan sebenarnya keluarga saya memperhatikan saya.
    Ko : iya bu benar itu
    Dari hasil Konseling, kami menetapkan kata jika konseli mulai memiliki kesadaran dengan kenyataan hidup, berarti dapat disimpulkan jika konseli ingin berubah dalam pikiran bahwa keluraganya sebanarnya memperhatikannya dan perasaannya yang ingin jadi bahagia. Judul untuk untuk konseling kita adalah bersabar dalam menghadapi cobaan hidup.

  10. Devi & Sr. Theresia said

    Devi dan Sr.Theresia
    1. Deskripsi Konseli
    Kami berdua Devi dan Sr.Theresia mendampingi pasien seorang laki-laki yang bernama bapak Mo ( bukan nama yang sebenarnya), berusia 65 tahun, sudah menikah dan mempunyai 4 orang anak. Anak pertamanya sudah meninggal dunia dan meninggalkan satu orang anak perempuan. Anak yang kedua sudah menikah dan memiliki tempat tinggal sendiri bersama suaminya. Anak yang ketiga, sudah memiliki anak tetapi suaminya tidak bertanggung jawab sehingga sekarang ia tetap tinggal dengan orang tuanya. Sedangkan anak yang terakhir belum menikah dan masih tinggal dengan orang tuanya. Keluarga ini termasuk keluarga yang harmonis. Sang istri selalu setia mendampingi suaminya dalam suka maupun duka. Anak-anak juga selalu memahami keadaan dan memperhatikan keadaan orang tuanya. Bapak Mo adalah seseorang yang aktif dalam kegiatan di Gereja maupun kegiatan sosial yang ada di masyarakat. Banyak kegiatan gereja yang dia ikuti. Salah satu kegiatan yang ia ikuti di gereja adalah sebagai pelatih alat musik Gamelan. Sebelum sakit Beliau juga pernah menjabat sebagai ketua wilayah di lingkungan Santo Yohanes Maguwoharjo. Bapak Mo mengalami sakit paru-paru dan sesak nafas. Penyakit ini ia alami sejak Agustus 2009 sampai sekarang. Keluarga selalu menyiapkan tabung oksigen di rumahnya karena sewaktu-waktu penyakit sesak nafasnya bisa kambuh. Hal ini sudah berlangsung sejak bulan Mei yang lalu sampai sekarang. Beliau sudah empat kali keluar masuk rumah sakit karena penyakit yang dideritanya. Jika beliau masuk rumah sakit, beliau akan diopname selama satu minggu. Selain berobat kerumah sakit, keluarga juga berusaha mengobati bapak Mo ke dokter-dokter spesialis paru-paru. Semenjak beliau menderita penyakit tersebut, beliau tidak lagi beraktivitas seperti biasa. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur. Keadaan seperti inilah yang membuat bapak Mo merasa bosan, malu karena sebagai kepala keluarga ia tidak bisa melakukan apa-apa kata-kata inilah yang selalu diungkapkannya kepada istrinya. (hasil sharing dengan istrinya). Bapak Mo juga berfikir kalau Tuhan itu tidak adil. Karena ia berfikir Tuhan tidak mendengarkan doa-doanya dan berfikir bahwa Tuhan itu sudah membiarkan ia menderita seperti itu.
    Hal tersebut tersebut tampak dalam perilakunya yang cenderung diam.

    2. Akar Masalah
    Dari hasil pembicaraan akar masalah konseli memiliki gejala-gejala tersebut adalah sebagai berikut: merasa bosan karena menghabiskan waktunya untuk tidur, malu karena tidak aktif seperti dulu ketika masih sehat,dan merasa bersalah dengan anak perempuannya yang hamil diluar nikah. Selain itu ia juga berpikir bahwa Tuhan itu tidak adil karenaseringkali ia berdo mohon kesembuhan tetapi Tuhan tidak memberikan penyembuhan kepadanya, Tuhan tidak mengabulkan doa-doanya, ia menganggap dirinya tidak berguna karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk keluarganya. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli untuk merubah pikiran dan perasaan dengan menggunakan teori dari Goleman kami menggunakan teori ini karena konseli belum mempunyai kemampuan memahami proses yang terjadi dalam dirinya yaitu perasaan, pikiran, dan latarbelakang tindakannya. Selain itu konseli kurang memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sehingga ia selalu berpikir negatif tentang dirinya.
    3. Percakapan dengan Konseli
    Dalam pertemuan berikutnya kami memancing konseli dengan percakapan sebagai berikut.
    1. Ko : Bagaimana keadaan bapak hari ini. Apakah sudah lebih baik?
    2. Ki : ya lumayan.
    3. Ko : Lumayan….? Lumayan itu maksudnya bagaimana, apakah sudah lebih baik dari hari-hari kemarin atau bagaimana?
    4. Ki : Iya…. paling tidak akhir-akhir ini kondisi saya sedikit membaik setelah saya melihat istri dan anak-anak saya yang begitu setia menemani saya meskipun saya tidak buat apa-apa tetapi mereka tetap memperhatikan saya juga melihat kondisi keuangan keluarga, sekarang saya berusaha untuk menenangkan diri agar tidak terlalu banyak pikiran.
    5. Ko : ehm…baguslah kalau begitu. Bapak sudah merasakan bahwa istri dan anak-anak setia memperhatikan bapak, Lalu kira-kira apa yang terlintas dalam pikiran bapak saat ini?
    6. Ki : Selama ini saya memang terlalu banyak pikiran sehingga penyakit saya sering kambuh. Jika penyakit saya kambuh maka keluarga akan mengeluarkan banyak uang untuk membeli obat dan oksigen.
    7. Ko : syukurlah kalau begitu, kami senang kalau bapak tidak terlalu banyak pikiran biar penyakitnya cepat sembuh.
    8. Ki : iya mba, suster …bapak juga mohon doa biar bapak cepat sembuh
    9. Ko : iya..pak…kami pasti mendoakan bapak
    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data jika konseli sudahada tanda-tanda untuk berubah mulai berubah. Konseli mengalami perubahan pada pikiran dan perasaan. Dapat disimpulkan jika konseli ingin diubah dalam pikiran dan perasaan, singkatnya ia ingin menerima penyakitnya dengan ikhlas sehingga ia dapat menjalani hidupnya dengan tenang. Lalu ia juga ingin tidak mempersalahkan Tuhan atas keadaan yang ia alami sekarang.

    4. Landasan Teologis
    Dari hasil konseling ini, konseli mengungkapkan bahwa ia percaya bahwa Tuhan itu pasti menyembuhkan penderitaan yang dialaminya. Ia percaya bahwa Tuhan itu sumber kekuatan dan penghiburan bagi dirinya. kesadaran inilah yang menjadikan landasan teologis yang menguatkan keinginannya untuk terbuka menerima penderitaan yang dialaminya saat ini.
    Setelah mengetahui landasan teologis yang menguatkan keinginan konseli dengan demikian judul dari layanan konseling pastoral terhadap konseli ini adalah “Dalam Tuhan ada kekuatan dan penyembuhan”

  11. Ivone dan Tika said

    Kami berdua Ivone dan Tika mendampingi pasien seorang wanita berusia 65 tahun, bernama Sumi (bukan nama sebenarnya). Beliau menderita cacat fisik pada kaki kiri dan tangan kiri, karena mengalami kecelakaan kerja sejak umur 40 tahun. Sehingga beliau harus duduk di kursi roda.
    Dari empat kali kunjungan menunjukkan gejala pada konseli yaitu merasa tidak dicintai dan dimiliki serta berpikir bahwa tidak memiliki seorang yang mau mendampingi dirinya. Hal tersebut nampak pada dirinya seperti:
    •Mencari perhatian dari orang lain.
    •Tidak ingin ditinggal sendirian
    •Menghabiskan banyak waktu utnuk berdiam diri di kamar karena keterbatasan untuk bergerak.
    Dalam pertemuan berikutnya, kami memancing konseli dengan percakapan sebagai berikut:
    Ko : Selamat sore bu…
    Ki : Sor mbak…wah mbaknya dating lagi…
    Ko : Iya bu…apa kabar ibu???
    Ki : Baik mbak..wah senengnya mbaknya datang lagi..
    Ko : Wah ibu kelihatan segar, habis mandi ya bu…
    Ki : Iya mbak, ni habis mandi sendiri maklum ga ada yang ngurusin
    Ko : Wah ibu mandiri ya?? Ibu lagi apa ini??
    Ki : Saya lagi merajut mbak..
    Ko : Wah bagus yah rajutannya, ini hobinya ibu ya??
    Ki : Iya mbak, habis saya Cuma bisa melakukan ini..
    Ko : Ohh begitu..tapi ibu hebat ya??
    Ki : Wah kalau saya sudah menerima keadaan saya seperti ini..
    Ko : Ibu sudah menerima keadaan ibu..
    Ki : Iya mbak, saya berusaha melakukan sesuatu untuk mengisi waktu hidup saya
    dari pada saya tidak ada kerjaan dan merasa bosan dan kesepian.
    Ko : Emm…kami mengerti perasaan ibu. Nampaknya ibu banyak melakukan
    kegiatan utntuk mengisi waktu luang ibu ya??
    Ki : Iya mbak..karena saya juga tidak memiliki orang yang dapat saya andalkan dan
    memperhatikan saya.
    Ko : Ibu merasa kurang dicintai dan dimiliki..
    Ki : Iya, benar sekali mbak..

    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data bahwa konseli telah dapat menerima keadaan fisiknya. Namun konseli masih merasa bahwa kebutuhan untuk dimiliki dan dicintai belum terpenuhi (Maslow). Dengan demikian judul dari layanan Konseling Pastoral kami terhadap konseli adalah “Hidup dalam Kasih Tuhan”.

  12. yanu said

    Saya Yanu, mendampingi pasien perempuan berusia 58 th bernama ATI (bukan nama sebenarnya). Ia tinggal di Yogya bersama suami dan dengan 3 orang anak. Ia menderita sejak 1 tahun yang lalu, yaitu penyempitan tulang belakang tepatnya ruas ke 3 tulang belakangnya masuk ke bawah(mblesek dalam bahasa jawa). Sebelum mengalami itu ia menderita komplikasi yaitu paru-paru dan empedu. Penyakit paru-paru memang dideritanya sudah sejak kecil dan dalam empedunya terdapat endapan lumpur dan itu berbahaya karena lumpur itu mneyebarkan racun kedalam seluruh tubuh. Sakitnya ini tiba-tiba menyerang dan langsung dibawa ke rumah sakit, pada hari ke 3 kondisinya memburuk dan sempat diberikan minyak suci karena kondisi ibu ini kritis. Lalu setelah minyak suci kondisinya berangsur angsur membaik tetapi malah ia tidak bisa bangun dan itu karena ruas tulang belakang turun ke ruas sebelumnya. Dari 2 kali kunjungan klien menunjukan gejala-gejala seperti pikiran : mengapa saya tidak sembuh-sembuh, saya sudah tidak bisa apa-apa dan kemana-mana, saya hanya orang sakit. Perasaan : sedih karena sudah tidak bisa berguna, sedih karena tidak ada yang memperhatikan. Hal tersebut nampak dalam perilakunya yang sering marah-marah tidak jelas pada seluruh anggota keluarga, suami dan anak-anaknya.
    Dari hasil pembicaraan, akar masalah klien memiliki gejala-gejala tersebut adalah sakit dan tidak ada semangat dalam dirinya. Oleh karena itu, saya hendak membantu klien untuk mengubah pikiran mengapa saya tidak sembuh-sembuh, saya sudah tidak bisa apa-apa dan kemana-mana, saya hanya orang sakit. Perasaan : sedih karena sudah tidak bisa berguna klien dengan menggunakan teori dari Goleman karena saya ingim membantu klien untuk menyadari kadaan dirinya, membantu klien untuk dapat mengelola emoinya dan tetap optimis untuk menghadapi sakitnya sehingga ia mampu menerima semuanya yang menimpa diriya.
    Dalam pertemuan berikutnya saya memancing klien dengan percakapan sebagai berikut :
    Ko : apa yang ibu rasakan selama jika berada dirumah?
    Ki : bosan mbak, karena sudah tidak bisa kemana-mana. Padahal dulu sebelum sakit saya itu selalu kemana-mana, arisan, piknik wah bnayak mbak. Tapi sekarang saya hanya orang sakit tidak bisa kemana-mana. Saya heran kenapa tidak sembuh-sembuh. Dan sekarang saya dirumah itu tidak ada yang peduli dengan saya, mereka semua sibuk.
    Ko : kegiatan apa saja yang dilakukan dirumah?
    Ki : ya saya cuma tidur aja mbak, sekarang itu saya bisa apa?
    Ko : coba bu, sekarang kita lihat sisi baiknya dengan keadaan ibu sekarang ini?
    Ki : apa ya mbak,, sekarang saya bisa istirahat dengan baik dulu saya itu tidak pernah berhenti, bekerja terus kadang tidur malam hanya 1-2 jam, sekarang saya lebih santai dan lebih dekat dengan keluarga. Walaupun saya sakit, saya bersyukur masih bisa hidup melihat orang-orang di luar sana lebih parah dari saya dan kurang beruntung. Walaupun saya sudah tidak bisa apa-apa lagi.
    Dari hasil konseling saya mendapatkan data jika klien saya bersyukur masih bisa hidup melihat orang-orang di luar sana lebih parah dari saya dan kurang beruntung. Walaupun saya sudah tidak bisa apa-apa lagi. Berarti ada perubahan pada pikiran. Ddapat disimpulkan jika klien ingin berubah dalam pikiran. Singkatnya ia menerima keadaan dirinya sekarang ini.
    Ibu ini juga memiliki sabda Tuhan ang menjadi pegangan, yaitu ungkapan maria “saya itu hanya hamba Tuhan, terjadilah menurut kehendakmu”. Ibu ini juga meneria Tuhan dan selalu mencoba bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan walaupun keadaannya saat ini sedang sakit. Dengan demikian judul layanan Konseling Pastoral saya dengan klien adalah “Pasrah dan berserah pada Tuhan”

  13. Alit pidegso said

    Saya, Alit Pidegso mendampingi Nama : mbah sarilah ( bukan nama sebenarnya)
    Umur : 85 tahun Status : Janda beranak 2 (dua).Pekerjaan (dulu): Ibu Rumah Tangga.
    memiliki anak tetapi tidak bertanggung jawab sehingga sekarang ia tinggal dipanti asuhan tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai sanak saudara. Semula Mbah Sarilah beragama Islam KTP, kemudian masuk agama Kristen.
    pernah mengalami sakit katarak sehingga tidak dapat melihat, pernah jatuh, kemudian mengalami operasi mata 2 (dua) kali.
    Dari 3x kunjungan terhadap klien, klien mengatakan ia telah menerima penyakit yg sudah tua.
    Dari hasil pembicaraan, kami menemukan data bahwa konseli sudah sadar akan kondisi dirinya dan tidak menganggap penyakitnya sebagai masalah. Karena konseli sudah mampu menerima keadaannya, maka kami ingin belajar dari konseli mengenai penerimaan diri melalui teori Maslow. Alasan kami memilih teori ini adalah karena kami ingin melihat lebih jauh bagaimana konseli menerima dirinya,

    Ko : Bagaimana kabar hari ini mbah ?
    Ki : Baik. Bagaimana dengan kalian?
    Ko : Kami juga baik,Bagaimana dengan perkembangan kesehatan mbah?
    Ki : ya agak kurang sehat
    KO: Bagaimana pengalaman mbah dengan penyakit yg sudah diderita begitu lama?
    KI: Saya sih sudah menerima kondisi saya seperti ini. Dulu pernah ada yg mengatakan kalau penyakit saya ini karena diguna-gunai orang.
    KO: Lalu bagaimana tanggapa mbah?
    KI: Ah,,,saya nggak percaya, suster. Kalaupun benar, saya juga bilang ke anak-anak supaya mengampuni saja orang-orang itu.
    KO: Wah, tanggapan mbah bagus sekali. Rupanya mbah sangat percaya pada Tuhan.

    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data bahwa konseli mampu menerima dirinya dan mau menyerahkan diri secara total kepada Tuhan (?).
    Landasan Teologis:
    Dalam kondisi seperti ini, konseli masih bisa setia dan menerima Tuhan. Dengan demikian judul dari layanan konseling pastoral kami terhadap konseli adalah “ Berserah Pada Tuhan

  14. Chacha dan Hesti said

    1. Kami berdua Chacha dan Hesti mendampingi pasien seorang ibu berusia 65 tahun, bernama Diah (bukan nama sebenarnya). Ibu Diah ini menderita sakit katarak pada kedua matanya sejak 2 tahun yang lalu. Selama 2 tahun ibu Diah tidak dapat melihat dengan jelas pandangannya seperti tertutup oleh kabut tebal. Namun 3 bulan lalu beliau telah dioperasi katarak pada salah satu matanya sehingga kini ia sudah dapat melihat lagi walaupun mata yang sebelah kiri masih belum bisa digunakan untuk melihat sama sekali karena belum dioperasi. Namun baru satu bulan usai menjalani operasi mata kataraknya, ibu Diah masuk rumah sakit kembali karena ia mendapat serangan jantung. Kami sudah melakukan dua kali kunjungan di salah satu rumah sakit swasta, namun kini ibu Diah sudah keluar dari rumah sakit dan berada di rumahnya di daerah Bantul.
    Menurut informasi yang diperoleh dari cucunya dan juga dari ibu Diah itu sendiri, sebelumnya ibu Diah merasa tidak mempunyai gejala jantung. Namun, ibu Diah mengakui bahwa tubuhnya tidak sesehat dulu. Ia sering mengalami sakit seperti meriang, masuk angin, maupun pusing. Ibu Diah pun juga mengalami kolesterol tinggi sehingga dokter mengharuskan ibu Diah untuk melakukan Diet Kolesterol.
    Ketika kami menanyakan kepada ibu Diah mengapa bisa terkena serangan jantung, ibu Diah mengatakan bahwa ia hanya kecapean saja. Kami pun sempat berbincang-bincang dengan salah seorang anggota keluarganya yaitu cucunya sebut saja Andri (bukan nama sebenarnya). Kami menanyakan tentang kondisi ibu Diah, kemudian Andri menceritakan bahwa ibu Diah terkena serangan jantung karena ia terlalu banyak pikiran yang membebaninya. Ibu Diah berpikir Dirinya terlalu menyusahkan anak-anaknya karena masa tuanya sering sakit-sakitan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit, ditambah suami ibu Diah pun yang hidupnya tergantung dari obat-obatan yang dokter berikan, karena suami ibu Diah mengalami sakit jantung sejak 7 tahun lalu.
    Ibu Diah merasa sedih dan terbebani karena semua beban hidup serasa ia yang memikul seorang diri. Walaupun sebenarnya hal tersebut tidak benar. Selama ini kehidupan ibu Diah dan suaminya dibiayai oleh ketiga anaknya yang sudah berkeluarga dan hidup berkecukupan. Selain itu suami ibu Diah pun masih mendapatkan dana pensiun PNS. Namun sepertinya ibu Diah belum bisa menerima keadaan dirinya yang mulai sakit-sakitan dan tidak sekuat dulu.
    Hal tersebut tampak dalam perilakunya yang sering mengeluh mengapa dirinya bisa sakit dan menghabiskan uang untuk berobat saja.
    2. Dari hasil pembicaraan tersebut, akar masalah konseli memiliki gejala-gejala tersebut adalah karena konseli belum dapat menerima keadaan sakit yang dialaminya. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli untuk merubah pikiran dan perasaan konseli dengan menggunakan teori dari Goleman.
    Alasan menggunakan teori Goleman karena dalam teori Goleman terdapat point yang sesuai dengan permasalahan kasus yang sednag ditanangi yaitu awearness/kesadaran diri.

    3. Dalam pertemuan berikutnya kami memancing konseli dengan percakapan sebagai berikut:
    a. Ko : Bagaimana bu keadaan kesehatan ibu?
    b. Ki :Ya beginilah, ndok sudah agak lebih baik, sudah tidak sesak lagi untuk bernafas
    c. Ko : oh, puji Tuhan bu kalau ibu sudah lebih baik. Ya gak papa bu, namanya orang hidup kadang merasakan sakit tapi kalau kita semangat percaya kita pasti sehat dan kuat lagi bu.
    d. Ki : ia ndok. Ibu tuh sedih kenapa sakit kok gak selesai belum juga mata ibu sembuh eh, sekarang sudah masuk Rumah Sakit lagi. Ibu kok kerjaannya cuma habisin uang buat biaya berobat ajah ya…
    e. Ko : Ya,.. kami mengerti bu, bersyukur saja bu, ibu masih diberikan anak yang sukses yang bisa membantu ibu. Kami yakin ibu pasti cepat sembuh.
    f. Ki : Amin Ndok, mudahan muzijat terjadi pada ibu ya Ndok.
    g. Ko : syukurlah bu.
    h. Ki : tapi bagaimana ya Ndok saya tu cape setiap hari harus minum obat. Saya ingin sembuh supaya tidak minum obat lagi, tiap hari ko cuma bisa minum obat dan menghabiskan uang untuk membeli obat-obatan.
    i. Ko : ya ibu, kami mengerti perasaan ibu. Semoga ibu cepat diberikan kesembuhan dan bisa menikmati hari tua ibu dengan iklas.

    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data jika konseli masih belum bisa menerima keadaan dirinya dan belum terjadi perubahan terhadap pikiran dan persaannya.

    4. Landasan teologis
    Sebagaimana sabda Tuhan yang pernah kami dengar mangatakan bahwa “ iman tanpa pengharapan adalah mati”, maka kami ingin mengajak bersama dengan Ibu Diah untuk berpengharapan dalam Tuhan agar kita diselamatkan, karena barang siapa percaya maka ia akan selamat.

    5. Dengan demikian judul dari layanan KP kami terhadap KI adalah “ mengucap syukur senantiasa agar hidup menjadi lebih bahagia”

  15. Jarot dan Kiyat said

    Kami berdua; Kiat Teguh Nugroho (071114006) dan Jarot Senoaji (071114018) mendampingi seorang pasien berusia 76 tahun yang bernama Mbah Marsinah (Bukan nama sebenarnya).
    Deskripsi sakit :
    Beliau menderita sroke sejak tahun 2010. Dari tiga kali kunjungan, konseli sebenarnya sudah menunjukkan bahwa dirinya menerima keadaan yang dialaminya sekarang. Akan tetapi, konseli sering mengeluh jika rasa sakit menyerangnya. Ia kadang tidak dapat menggerakan anggota tubuhnya dan terkadang suka tidak nyambung kalau diajak ngomong, untuk berjalan ataupun duduk susah sekali. Ia merasa jenuh dengan keadaan yang ia alami sekarang. Ia sering mengeluh dengan keadaanya. Ia tidak menolak atau mengingkari keadaannya, namun ada kalanya dia merasa tidak tahan berada ditempat tidur terus menerus dan terkadang merasa emosi karena apa yang beliau sampaikan tidak dapat ditangkap oleh orang lain.
    Dari hasil pembicaraan, akar masalah konseli nampak dari gejala-gejala perilaku di atas. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli untuk mengubah perasaan dan pikiran konseli dengan menggunakan teori Goleman. Kami menggunakan teori Golman dengan alasan konseli belum mampu menerima keadaan dirinya, mengelola emosinya.

    Dalam pertemuan, kami berbicara dengan konseli dengan percakapan sebagai berikut :
    Ko : Bagaimana mbah kabarnya?
    Ki : Ya seperti ini Nak….
    Ko : Gimana mbah, sehat?
    Ki : Ya sehat, tapi ya beginilah keadaan embah…
    Ko : Ya diterima saja mbah, mungkin ini cara Tuhan agar mbah lebih bisa bersabar dan
    bisa lebih pasrah.
    Ki : iya mbah wis trimo kok dengan keadaan mbh tapi mbah wis ra tahan.
    Ko : gak tahan pripun mbah?
    Ki : lahh pie meneh mbah bosen karo uripe mbh sing koyo ngene ora iso ngopo ngopo
    Ko : Oh begitu…
    Ki : iyoh mbah wis ra iso ngopo ngopo meneh tangi wae ra iso dadi ngerepoti kabeh
    Ko : Wah Simbah ngeroso bosen njih mbah.
    Ki : Lha yo kepiye meneh le uripe yo mung ngene wae
    Dari hasil konseling, kami mendapatkan data bahwa konseli belum mampu menerima dirinya dan mau menyerakan diri secara total kepada Tuhan.

    Landasan Teologis:
    Dalam kondisi seperti ini, konseli masih bisa setia dan menerima Tuhan. Dengan demikian judul dari layanan konseling pastoral kami terhadap konseli adalah “belajar ”.

  16. Amel dan Cahya said

    Kami berdua (Amalia Wahyu Arumsari dan Cahya Kusumawati) mendampingi seorang pasien berusia 98 tahun yang bernama Mbah Harjo (Bukan nama sebenarnya). Deskripsi klien: Ia menderita sakit fisik karena usia senja (katarak, kaki gajah dan hipertensi)sejak tahun 2005.
    Dari dua kali kunjungan konseli sebenarnya sudah menunjukkan gejala pikiran belum berani menghadapi kematian. Ia berfikir bahwa kematian itu menakutkan. hal tersebut nampak dari perilaku konseli yang selalu ingin ditemani dan diperhatikan.
    Dari pembicaraan akar masalah konseli memiliki gejala-gejala takut akan kematian, takut akan kesendirian dan perasaan tidak diperhatikan. Oleh karena itu kami hendak membantu konseli mengubah pikiran dan perasaanya dengan menggunakan teori dari Goleman dengan alasan konseli menyadari bahwa usianya sudah senja dan pasti akan meninggal, tetapi Ia masih merasa takut untuk menghadapi kematian tersebut. Namun jika sudah kesakitan ia merasa kematian adalah jalan tepat untuknya.

    Dalam pertemuan berikutnya kami memancing klien dengan pertanyaan sebagai berikut:
    Ko : gimana kabarnya hari ini?
    Ki : ya…sperti ini, saya kan sudah tua sudah tidak bisa melihat tetapi telinga saya masih dapat mendengarkan dengan jelas.
    Ko : masih sering merasakan sakit atau tidak mbah?
    Ki : ya..setiap malam rasanya nyeri nak.
    Ko : oh…begitu ya mbah
    Ki : sebenarnya saya sakit-sakitan seperti ini capek tapi kalau saya meninggal bagaiman?
    Ko : maksud mbah bagaimana?
    Ki : saya takut sendiri. sering-sering main kerumah mbah menemani mbah.
    Ko : iya mbah
    Ki :apa ada sesuatu hal yang mbah pikirkan?
    Ko : saya takut kalau saya sudah meninggal nanti saya akan sendiri. Sebenarnya setiap hari saya ingin ditemani oleh cucu saya.

    Dari hasil konseling kami mendapatkan daa jika konseli kami mendapatkan data jika konseli belum berserah diri menghadapi kematian dan belum terjadi perubahan pikiran dan perasaan.
    Landasan teologis
    Sabda Tuhan yang tertulis dalam alkitab adalah “Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari padaNyalah keselamatanku” Maz 62: 2

    Dengan demikian judul dari layanan KP kami terhadap KI adalah “ Tuhan Penyelamatku”.

  17. Olifa Faustina Rita said

    TUGAS KONSELING PASTORAL MENDAMPINGI ORANG SAKIT
    (Olifa Faustina Rita/051114031)

    Kami mendampingi seorang pasien perempuan, berusia 51 tahun, namanya Suster M. ia menderita penyakit lupus selama kurang lebih 9 tahun. Dari 2 kali pertemuan dan beberapa kali shering klien menunjukan gejala perasaan yaitu klien merasa sedih, kecewa, marah, benci kepada suster pemimpin daerah A. Gejala pikirannya yaitu klien berpikir bahwa suster A tersebut adalah orang yang paling jahat. Hal ini nampak dalam perilakunya yang selalu tidak menunjukan persahabatan dengan suster A tersebut, bila berbicara tentang suster A tersebut klien merasa marah dan benci setengah mati. Sudah tidak ada yang baik yang klien lihat dari sosok pribadi suster A tersebut. Awal klien mengetahui sakit yang di deritanya klien merasa sedih, dan takut, tidak terima dengan sakitnya sehingga membuat klien stress dan harus rawat di salah satu Rumah Sakit di Semarang selama 2 minggu.
    Dari hasil pembicaraan klien memiliki akar masalah yaitu belum bisa menerima penyakit yang dialaminya. Oleh karena itu saya hendak membantu klien untuk merubah perasaan sedih, takut, cemas, kecewa, marah, benci dan merubah pikirannya tentang suster A bahwa suster A adalah pribadi yang paling jahat, dengan menggunakan teori Goleman. Alasan saya menggunakan teori Goleman adalah bahwa klien belum dengan kesadaran diri menerima sakit yang dialami dan belum mampu mengelola emosi-emosi negatif yang ada dalam dirinya sendiri maupun dalam diri orang lain terutama suster A.
    Dalam pertemuan berikut, saya memancing klien dengan percakapan sebagai berikut:
    Pertemuan 1 tanggal 7 Nopember 2010 (jam 09.30-12.00) dan beberapa kali shering
    Ko: Selamat pagi suster, terimakasih sebelumnya sudah mau memberikan waktunya untuk berbagi pengalaman yang suster alami.
    Ki: Sama-sama suster leo, tetapi sebelum kita mulai pembicaraan alangkah baiknya kita buka dulu dengan doa ya.
    Ko: Baiklah suster (Penerimaan), marilah kita menyiapkan hati untuk bersatu dalam doa (doa dipimpin oleh konselor). Suster kalau boleh saya tahu suster menderita sakit lupus sudah berapa lama dan bagaimana gejala-gejala awal yang suster rasakan? (Ajakan untuk memulai)
    Ki: Saya menderita sakit lupus sudah sejak tahun 2002 sampai sekarang, yang saya rasakan awalnya badan saya gatal-gata dan bengkak-bengkak, demam dan berkeringat selama hampir 2 minggu tetapi dalam keadaan tersebut saya tetap bekerja dan tidak peduli dengan sakit yang saya alami.
    Ko: Baik suster (Penerimaan)….saya bisa memahami apa yang suster rasakan, nampaknya dalam keadaan sakitpun suster tetap masih bertanggungjawab terhadap tugas-tugas yang dipercayakan kepada suster.
    Ki: yahhh begitulah keadaan yang saya alami, apalagi relasi saya dengan suster pemimpin saat itu kurang baik
    Ko: Maksud suster, relasi yang bagaimana? (PHT)
    Ki: saya merasa marah, kecewa, dan benci setengah mati terhadap suster A ( Klien cara bicaranya terbata-bata dan menangis)?
    Ko: Hm, hm…lalu (Penerimaan/PHT)
    Ki: Begitu bencinya saya terhadap suster itu membuat saya berpikir bahwa suster itu adalah orang yang paling jahat dan tidak mengerti situasi yang saya alami.
    Ko: Ya saya mengerti perasaan suster. Nampaknya suster berpikir bahwa sudah tidak ada lagi kebaikan yang dalam diri suster tersebut, bagaimana suster?
    Ki: Ya saya merasakan seperti itu
    Ko: Baiklah suster, apa yang suster rasakan lagi ketika mengetahui bahwa suster menderita sakit lupus? (Psikologis)
    Ki: Saya merasa sedih, takut sehingga membuat saya stress dan akhirnya harus masuk Rumah Sakit?
    Ko: Jadi suster merasa sedih dan takut dengan sakit yang suster alami, apakah masih ada yang ingin suster ungkapkan? (Psikologi, sedih dan takut/PHT)
    Ki: Saya merasa sedih dan takut karena sakit yang saya derita belum ada obatnya, dan saya merasa takut jika Tuhan memanggil saya sekarang.
    Ko: Baiklah suster, saya bisa memahami apa yang suster rasakan (Penerimaan). Perasaan dan pikiran yang suster alami terhadap diri suster dan suster A adalah sesuatu yang wajar. Sebagai manusia terkadang kita juga punya kelemahan yang membuat kita kurang bisa berelasi dengan baik terutama dengan suster A. tetapi percayalah bahwa Tuhan itu maha pengampun suster. Dia lebih tahu tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan tentang diri kita maupun orang lain. (Teologis)
    Ki: Oh..iya…ya. saya jadi meragukan Tuhan
    Ko: Jadi keraguan suster itu karena belum bisa menerima sakit yang suster alami (Psikologis, Refleksi Perasaan), apakah anda yang ingin suster ungkapkan? (PHT)
    Ki: Selama saya sakit hati saya tidak tenang (Psikologis, Pertentangan)
    Ko: Tidak tenang ( Pengulangan satu dua kata), nampaknya ada sesuatu yang membuat suster tidak tenang, benarkah demikian suster (psikologi, Klarifikasi Perasaan)
    Ki: Iya benar sekali. Saya masih menyimpan rasa marah dan benci setengah mati terhadap suster A bahkan saya berpikir bahwa suster A itu orang yang paling jahat.
    Ko: Kalau boleh saya tahu apa yang membuat suster merasa marah, benci dan suster berpikir bahwa suster A itu orang yang paling jahat. (PHT)
    Ki: Begini suster leo, beberapa bulan ketika saya sakit, suster A sebagai pemimpin sama sekali tidak memberikan perhatian kepada saya, bahkan tidak pernah menanyakan sakit apa yang saya alami dan tidak pernah menawarkan saya untuk berobat ke dokter. Padahal kami tinggal sekomunitas dan situasi badan saya secara fisik jelas terlihat pucat dan bengkak-bengkak (menangis), hal inilah yang membuat saya marah dan benci terhadap suster tersebut.
    Ko: ya…ya…saya mengerti suster (Penerimaan). Nampaknya karena kurang perhatian dari suster pemimpin sehingga suster merasa dan berpikir demikian terhadap suster A. (Klarifikasi pikiran)
    Ki: Iya suster.
    Ko: Baik suster (Penerimaan), apakah suster pernah mengungkapkan sakit yang suster alami kepada suster A? (PHT)
    Ki: Belum pernah suster, karena saya sibuk menyelesaikan tugas-tugas saya.
    Ko: Jadi karena kesibukan suster berdua sehingga tidak terjalin komunikasi yang baik, benarkah demikian suster (Psikologi)
    Ki: Iya benar sekali, saya menyadari bahwa saya yang kurang bisa terbuka dan menyampaikan sakit yang saya alami, sehingga dalam keadaan sakit saya menuntut perhatian dari suster A sebagai pemimpin.
    Ko: Baiklah kalau begitu suster, nampaknya rasa marah dan benci terhadap suster A masih suster rasakan bahkan suster masih berpikir bahwa suster A itu orang yang paling jahat. Sekarang coba suster bayangkan tidak ada untungnyakan kalau suster masih menyimpan semua rasa itu dan berpikir demikian terhadap suster A. suster akan menjadi semakin tidak tenang untuk menjalani hidup ini, benarkah demikian suster?
    Ki: Benar sekali ketika saya masih menyimpan rasa itu dan berpikir bahwa suster itu adalah orang yang paling jahat, hati saya semakin menjadi tidak tenang dan membuat saya sakit. Dalam doa sabda Yesus selalu bergema dalam batin saya untuk memaafkan suster A.
    Ko: Baiklah suster sekarang kita mencoba belajar bersama-sama dari Tuhan sendiri, apakah boleh saya membacakan teks kitab suci yang selalu bergema di hati suster. Hening……membacakan teks kitab suci dari Injil Lukas 6: 27-36 Kasihilah Musuhmu.
    Ki: Hening…………(Klien menangis), saya merasa Tuhan sungguh mencintai saya dengan tulus. Apapun keadaan suster A tersebut saya harus bisa memaafkan seperti Tuhan sendiri telah memaafkan segala kesalahan yang telah saya lakukan. Dalam keadaan sakit yang saya alami kebaikan dan cinta Tuhan selalu mengalir dalam hidup saya.
    Ko: Iya suster (Penerimaan). Tuhan adalah sumber cinta bahkan Tuhan mengampuni semua orang yang berbuat dosa bahkan orang yang menyerahkan Dia sampai disalibkan. Tuhan selalu menerima orang yang mau kembali ke jalan yang baik dan benar. Bahkan Ia tetap murah hati kepada orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat. Apapun keadaan suster Tuhan selalu akan menerima suster apa adanya. (Teologis, Bombongan).
    Ki: saya percaya dalam keadaan apapun saya tidak sendiri karena Tuhan akan selalu bersama dengan saya, bukan begitu yah suster leo?
    Ko: Benar suster, ketika suster berani membuka diri untuk memaafkan suster A, suster akan mengalami ketengan batin dalam menjalani hidup ini. Yakinlah suster Tuhan akan selalu bersama dengan suster. (Teologis, Bombongan).
    Ki: iya suster

    Dari hasil konseling, saya mendapatkan data jika sebenarnya konseli sudah mampu untuk menerima sakitnya. Ada keinginan untuk bebas yang dari rasa marah, benci untuk memaafkan “suster A”. dia mau belajar dari Yesus yang murah hati. Dengan demikian judul layanan konseling pastoral saya terhadap konseli adalah “ Terimalah penderitaan. Dengan-Nya aku belajar untuk memaafkan”.

Leave a reply to dhian dan mia Cancel reply